Manila - Konfilik yang terjadi di sebuah negara selalu menyebabkan anak-anak sebagai korban. Mereka umumnya kehilangan masa kanak-kanak, sulit berkembang dan tidak memiliki jaminan masa depan yang baik. Sebagian bahkan akhirnya menjadi pelaku konflik.
Wakil Indonesia dalam Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak Asean (ACWC/Asean Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children), Ahmad Taufan Damanik menyatakan, kasus-kasus konflik yang menyebabkan anak sebagai korban, terjadi hampir di semua negara anggota Asean. Di Indonesia antara lain terjadi dalam konflik Aceh, Maluku, Poso dan Kalimantan Barat, serta kasus-kasus yang terjadi di Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.
“Dalam jumlah yang lebih besar anak-anak mengalami imbas dari konflik. Keduanya sama saja, kehilangan hak-hak mereka untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya dunia kanak-kanak,” kata Taufan Damanik, Rabu (29/9./2010), usai menjadi pembicara dalam konferensi Islam, Childhoods, and Building Cultures of Peace Conference (Konferensi Islam, Masa Kanak-kanak dan Membangun Budaya Perdamaian) yang berlangsung di Philippines University, Filipina yang digagas Yayasan KKSP Medan bersama sejumlah lembaga internasional lainnya.
Disebutkan Taufan, kondisi ini menimbulkan trauma psikis yang panjang, tak jarang mereka sulit keluar dari cekaman traumatik sehingga gagal mengembangkan kepribadiannya dengan normal. Sebaliknya, sistem sosial yang kurang mendukung, malah memberikan stigmatisasi kepada mereka sehingga menghambat mereka mengembangkan diri pada masa remaja dan dewasa.
Sayangnya, kata Taufan, negara-negara yang tergabung dalam Asean (Association of South East Asia Nations/Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara), kecuali Filipina, masih belum meratifikasi Optional Protocol on Children in Armed Conflict (OPAC) maupun instrumen hukum international lainnya yang berhubungan dengan kemanusiaan.
“Karena itu, tidak heran jika Asean secara umum tidak memiliki kerangka hukum positif yang dapat digunakan sebagai landasan juridis, kebijakan dan program untuk bagaimana menghindari anak-anak dari kemungkinan dilanggar haknya di dalam situasi konflik bersenjata,” katanya.
Disebutkannya lagi, seluruh negara Asean mendapatkan catatan yang mesti serius diperbaiki di dalam pandangan umum atas laporan hak anak yang mereka submit ke United Nation Convention on the Rights of the Child Committee. Selain itu, semua negara anggota Asean juga mendapatkan catatan kritis untuk isu kekerasan terhadapap anak, baik di keluarga, sekolah dan masyarakat.
Selain keterbatasan landasan hukum internasional yang telah diakomodasi ke dalam produk hukum lokal maupun nasional, keterbatasan di dalam kebijakan, program dan kelembagaan, ada pula persoalan dalam penggunaan perspektif konvensi hak anak ketika menyusun kerangka legislasi nasional.
Kecenderungan ini adalah bias orang dewasa di dalam penyusunan dan praktek legislasi dan kebijakan perlindungan hak anak. Prinsip partisipasi anak atau lebih dikenal dengan Respect to the view of the child serta kepentingan terbaik bagi anak, pada umumnya belum masuk ke dalam paradigma hukum dan kebijakan negara anggota Asean.
“Indonesia misalnya, meski memasukkan prinsip non-diskriminasi dan child survival di dalam konstitusi maupun UU Perlindungan Anak tetapi tidak memasukkan respect to the view of the child maupun kepentingan terbaik bagi anak. Kedua isu ini juga tidak secara eksplisit disebutkan di berbagai perundangan-undangan dan kebijakan lainnya yang berhubungan dengan hak anak, baik langsung mau pun tidak langsung,” katanya. (rde)
(Source: kksp.or.id)
0 comments:
Posting Komentar
your comment, please.. thank you ;)